BENARKAH NAMA NEGARA INDONESIA DI AMBIL DARI NAMA AKRONIM PARA WALI

Benarkah nama negara kita INDONESIA diberi nama sesuai degan akronim para WALI SONGO.??



1. * I * Ibrahim Malik (Sunan Gresik)
2. * N * Nawai Macdhum (Sunan Bonang)
3. * D * Dorojatun R Khosim (Sunan Drajat)
4. * O * Oesman R Djafar Sodiq (Sunan Kudus)
5. * N * Ngampel R Rahmat (Sunan Ampel)
6. * E * .Eka Syarif Hidayatullah (SunanGunungJati)
7. * S * Syaid Umar (Sunan Muria)
8. * I * Isyhaq Ainul Yaqin ( Sunan Giri)
9. * A * Aburahman R Syahid (Sunan Kalijaga) 

Jumlah huruf INDONESIA 9 sesuai dgn jumlah Wali/Alim Ulama dikala itu = WaliSongo atau 9 Wali.

monggo disimak... bareng bareng MISTERI DIBALIK NAMA "INDONESIA" Pernahkah Kita Menghitung Angka dari Kata "INDONESIA" ??? MASYA'ALLAH.. Akan di dapat Keajaiban yang luar biasa, Mari, Kita coba Hitung : Abjad = Urutan Angka I : 9 N : 14 D : 4 O : 15 N : 14 E : 5 S : 19 I : 9 A : 1

Dari Semua Angka, yang Muncul Hanya Angka "1-9-4-5", Tdk ada angka 2,3,6,7,8 Tentu ini Bukan Kebetulan... Ini adalah Kehendak dan Karunia dari ALLOH SUBHAANALLAHU WA TA LA. Mari Coba Kita Jumlahkan semua Angka dari Kata "INDONESIA", jumlahnya "90", Dalam AL QURAN, Surat ke-90 adalah Surat Al-Balad, yang Artinya "NEGARA" Tentu ini Bukan Suatu Kebetulan ini semua Karunia yang Luar Biasa dari Allah Subhaanallaahu wa taala. Mungkin ini Juga Jawaban pada HADITS ROSULLULOH yang Mengatakan Bahwa akan ada Negeri di atas Awan Bernama Samudra...yang di-Kelilingi Air dan menghasilkan Banyak Ulama... Ternyata Negeri itu adalah... INDONESIA Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur

Baca Juga

Mari Indonesiakan Indonesia kita,, Kita wujudkan Rohmatal lil 'aalamiin... WallAhu a'lam Bis ShAwaab.. 🇮🇩

INDONESIA SEPOTONG SURGA DI DUNIA

Indonesia: Sepotong Sorga di Dunia atau Pusat Dunia? - 5

Selama ber-tahun2, Borobudur diyakini sebagai tempat ibadah Budhisme yg dibangun oleh dinasti Syailendra di abad ke-8. Tapi bentuk Borobudur secara keseluruhan dan pemahaman akan lokasinya menunjukkan kalau Borobudur bukan memulai keberadaannya sebagai tempat ibadah Budhisme dan dinasti Syailendra bukan membangun tapi mengubahnya menjadi Borobudur sebagaimana yg dikenal sekarang.

Dengan keberadaan begitu banyak patung Budha dan stupa, secara keseluruhan bentuk Borobudur sangat berbeda dg bentuk tempat ibadah Budhisme mana pun. Hal itu dikarenakan tanpa melihat patung Budha dan stupanya, bentuk Borobudur merupakan bentuk Mandala atau Chakra.

Uniknya, pengetahuan bahwa bentuk keseluruhan Borobudur merupakan bentuk Mandala bukan didapat dari Hindu India, tapi dari AJARAN LELUHUR JAWA. Hindu India bahkan tidak tahu apa2 tentang Borobudur. Dari sini seharusnya sudah mulai terlihat bahwa Hindu sebenarnya berawal dari Jawa, sekali pun mencapai puncak perkembangannya di India (dalam artian hingga dikenali sebagai agama khas India).

Sejarah Budhisme, di sisi lain, dg jelas tercatat dimulai dari India. Sidharta Gautama, peletak dasar Budhisme, merupakan pangeran sebuah kerajaan India.

Kesalahan dimulai saat Budhisme dibawa kembali ke Indonesia. Sebagaimana spt penjelasan dalam tulisan sebelumnya, arah aliran yang seharusnya adalah dari Indonesia ke India, dari India ke China, dari China kembali ke Indonesia.

Sementara siapa peletak dasar Budhisme tercatat jelas, siapa yang membawa Budhisme ke China juga tercatat jelas, tapi siapa yang membawa Budhisme ke Indonesia kuno tidak pernah diketahui dg jelas.

Di sisi lain, sementara kedatangan Tat Mo Cosu ke China membawa Budhisme bukan saja menjadikan Budhisme bagian tak terpisahkan dari China - bahkan hampir menenggelamkan Taoisme, ajaran asli leluhur China - tapi juga mengembangkan seni bela diri China. Sedang Budhisme yg dibawa ke Indonesia dari India, sekali pun sempat menjadi agama kerajaan, tidak pernah mencapai kejayaan apalagi bertahan sebagaimana Budhisme di China.

Kalau mengikuti arah aliran yg benar - dari India ke China - hasilnya luar biasa. Kalau melawan arah aliran yang benar - dari India ke Indonesia - keberhasilannya hanya sesaat dan berakhir dg keruntuhan.

Kembali ke Borobudur. Ambillah posisi sebagai raja Sriwijaya di abad ke-8. Apa yang kita pikirkan saat tahu akan keberadaan sebuah bangunan megah di tengah pulau Jawa yang terkait dg ajaran kuno (pra-Budhisme) dan lebih megah dari semua bangunan Budhisme di Indonesia pada waktu itu?

Tentu saja tidak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin ajaran yang salah, yg sudah ditinggalkan, bisa mewariskan peninggalan yg lebih megah dari ajaran yg benar? Bangunan kuno itu HARUS DIUBAH menjadi bangunan Budhisme, ajaran yang benar hingga dijadikan agama resmi kerajaan pada waktu itu.

=== Menariknya, pemikiran yg sama sedang kita lihat berlangsung sekarang ini juga di tanah Jawa, hanya saja bukan dari Budhisme ===

Jadi raja memerintahkan untuk mengubah bangunan tersebut menjadi tempat ibadah Budhisme. Dari fakta bahwa bentuk dasar Borobudur masih tetap merupakan Mandala menunjukkan kalau bangunan aslinya tidak dirobohkan, hanya rancangannya diubah dengan memahat puluhan patung Budha dan stupa.

Apakah ini suatu kesalahan?

Tidak juga. Kesalahan bukan pada perubahan bentuk Borobudur, karena pada intinya bentuknya tetap sama, Mandala. Kesalahan pada proses perubahannya. Bangunan asli Borobudur terletak di tengah danau. Untuk melaksanakan perubahannya, danau terpaksa dikeringkan (dengan merobohkan salah satu dinding danau dan membiarkan airnya mengalir keluar).

Kesalahan berikutnya adalah keputusan untuk menjadikan Borobudur tempat ibadah Budhisme agar orang melupakan keterkaitannya dg ajaran kuno. Untuk itu Borobodur tetap dibiarkan kering.

Ini merupakan kesalahan karena bentuk Mandala dari Borobudur bukan tanpa makna. Bentuk Mandala dipilih karena lokasi Borobudur merupakan titik Mandala Bumi.

Sebagaimana penjelasan dlm tulisan sebelumnya, Mandala atau Chakra merupakan portal energi. Di dalam tubuh manusia, apabila Mandala/Chakra mengalami gangguan, akan terjadi penyumbatan energi yg terlihat dalam bentuk kelemahan, atau penyakit.
Bumi juga memiliki Mandala/Chakra tersendiri. Tidak seperti Mandala/Chakra Mayor tubuh, yg berjumlah 7, Mandala/Chakra Mayor Bumi berdasarkan elemen/unsur utama yaitu: Air, Kayu, Api, Tanah, dan Logam.

Baca Juga

Menurut Man Tak Chia dalam bukunya The Inner Structure of Tai Chi, dalam ajaran Taoisme, kelima elemen/unsur tersebut bukan acak. Kelimanya melambangkan metamorfosa energi. Melambangkan PROSES TERBENTUKNYA ALAM SEMESTA. Dan elemen paling awal, elemen yg menjadi dasar dari semua elemen lainnya, adalah Air.

Bahwa Borobudur awalnya berada di tengah danau menunjukkan satu hal: BOROBUDUR ADALAH MANDALA AIR. Titik awal dari semua perkembangan. Atau, dalam hal ini, TITIK AWAL DARI PERADABAN.

Ini merupakan bukti terutama bahwa Hindu bukan berasal dari India. Karena tidak mungkin Hindu muncul di tanah yang jauh dari tanah di mana Mandala Air, titik awal dari semua perkembangan, berada.

Dan ketika Mandala Air dirusak dan dibiarkan rusak, penyumbatan energi terjadi. Itu sebabnya Borobudur merupakan satu2nya situs kuno yg mengalami kerusakan DARI DALAM KE LUAR. Semua situs kuno lain mengalami kerusakan dari luar ke dalam, terutama akibat cuaca. Borobudur rusak dari dalam ke luar karena penyumbatan energi Bumi.

Dan sejak kerusakan Mandala Air, kejayaan Nusantara pun mengalami penurunan.

MACAM MACAM PESUGIHAN

Menguak Sejarah Pesugihan

Manusia kadang tidak sanggup menghadapi cobaan hidup, berbagai cara cepat dilakukan untuk keluar dari lubang kemiskinan. Mencuri, hingga merampok akhirnya sering dilakukan sebagai usaha untuk lepas dari permasalahan. Bahkan ada yang sampai rela menjual dirinya agar dapur terus ngebul. Namun ada juga yang lebih memilih jalan pintas dengan cara ghaib, yaitu melakukan pesugihan. Jika mendengar kata “pesugihan” yang terbayang di dalam kepala adalah berbagai ritual bersekutu dengan jin atau setan demi mendapatkan kekayaan dan kesuksesan yang melimpah ruah, padahal, “pesugihan” merupakan Bahasa jawa yang artinya adalah segala sesuatu yang menjadikan kaya. 

Namun yang akrab dengan kita adalah ritual perugihan ilmu hitam demi mendapatkan kekayaan dengan cara instan, meski harus memberikan tumbal. Ciri-Ciri Pelaku Pesugihan Banyak jenis pesugihan membuat ciri-ciri pelaku ritual ini juga tak sama. Dari memelihara tuyul, hingga melakoni ritual hingga ke gunung kawi juga merupakan pesugihan yang mendatangkan resiko berbeda-beda, untuk pelaku perugihan jenis Bulus Jimbung yang memakai hewan bulus sebagai simbolnya. Biasanya akan ,mendapatkan belang di tubuhnya. Jika belang tersebut sudah memenuhi seluruh tubuhnya, maka pelaku pesugihan itu akan mati. Tempat Terkenal Yang Digunakan Untuk Pesugihan Pulau Jawa adalah surganya para pelaku pesugihan, di Jawa. Ada beberapa tempat pesugihan yang sangat terkenal dan masih ramai dikunjungi hingga kini. 

Gunung Kawi, merupakan daerah yang sangat dikenal sebagai tempat pesugihan. Hingga siapapun yang mengunjungi gunung satu ini, maka orang akan berpikir bahwa ia Sedang mencari pesugihan. Di gunung kawi terdapat pohon Dewandaru , di mana dipercaya bahwa siapapun yang dijatuhi daunnya akan mendapatkan keberuntungan yang beruntun. Selain itu pantai laut selatan juga terkenal sebagai tempat pesugihan. Pesugihan di laut selatan ini adalah dengan meminta pertolongan pada Nyi Roro Kidul. Yang paling unik adalah pesugihan Gunung Kemukus. Dimana pelakunya diharuskan untuk berhubungan dengan yang bukan pasangan resmi terlebih dahulu. Riual-Ritual Aneh Untuk Pesugihan Untuk bisa mendapatkan kekayaan lewat pesugihan. Banyak syarat dan ritual yang harus dilakukan terlebih dahulu. Pesugihan gunung kawi misalnya, untuk menunggu daun Dewandaru jatuh dan mengenai dirinya, pelaku bahkan rela menunggu di bawah pohon tersebut selama berhari-hari. Lain lagi dengan pesugihan di Kawasan pantai selatan. Pesugihan di pantai selatan ini meminta pelaku berhubungan badan dengan Nyi Roro Kidul. 

Dan kekayaan yang dijanjikan oleh ratu pantai selatan ini hanya berumur selama 7 tahun. Tuyul bisa jadi dinilai sebagai pesugihan yang paling praktis memelihara tuyul tidaklah sulit, istri, atau wanita di dalam rumah harus bersedia menyusui si tuyul setiap malam seperti anak sendiri, seperti yang diketahui, tuyul merupakan jelmaan dari anak kecil. Namun, jika tuyul ini sampai tertangkap oleh orang pintar dan disiksa, maka yang akan merasakan sakitnya adalah si pemilik. Tumbal Yang Dikorbankan Pesugihan memang banyak macamnya. Pesugihan dibedakan dari tempat. Ritual, hingga tumbal yang di minta. Untuk pesugihan Nyi Roro Kidul. Ritual berhubungan badan denganratu hanya akan ,menjamin kekayaan selama 7 tahun. Jika ingin menambahkan masa waktu, maka harus menyerahkan nyawa orang lain sebagai tumbal. Setelah dua periode itu habis maka Nyi Roro Kidul akan meminta nyawa si pelaku untuk mengikutinya untuk selamanya. Ada juga pesugihan tukar janin. Di mana pelaku melakukan kesepakataan dengan bangsa jin. Wanita yang hamil harus rela menyerahkan janinya pada jin yang ingin punya anak. Sebagai gantinya. Jin tersebut akan memberikan kekayaan. Berbeda lagi dengan pesugihan yang melalui buto ijo dan menyerahkan tumbah seorang perawan. Pelaku hanya perlu menyerahkan potongan rambut dan kuku dari korban. Setelah itu korban akan mati dengan cara tidak wajar. Hasil Persugihan Yang Menggiurkan Beberapa kesaksian para pelaku pesugihan ini memang sangat menggiurkan. Seorang pengusaha mengaku putus asa karena hutang menumpuk untuk usahanya. 

Baca Juga

Akhirnya. Keputusan mendorong ia memilib melakukan pesugihan jenis uang ghaib dengan bantuan seseorang yang di panggil Abah. Setelah melakukan tirual dengan menunggu selama 3 hari, pengusaha tersebut dipanggil untuk menghadap abah karena uangnya sudah cair sebanyak 6 miliar Rupiah. Namun jangan mudah percaya dengan kesaksian para pelaku pesugihan yang ada di internet. Bisa jadi ini adalah kesaksian palsu. Mengingat banyak iklan pesugihan sudah banyak sekali ditemukan di internet. Kekayaan tanpa batas, ataupun tanpa tumbal tersedia lengkap di internet. Apakah kamu percaya dengan pesugihan ? atau kamu memiliki kesaksian tentang pesugihan ? komen di bawah ya guys ^^ #pesugihan #kekayaan #tumbal #tuyul #pantai #ratu #selatan #pantairatuselatan

MENELUSURI JEJAK JAKA TINGKIR

Jaka Tingkir
Jaka Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), anak dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh), seorang bangsawan keturunan raja Majapahit yang menikahi Ratu Pembayun, satu-satunya anak dari Prabu Brawijaya dengan permaisurinya. Mereka adalah yang orang-orang tuanya bersama dengan para angkatan tua lainnya memilih mati ketika para Wali dan prajurit Demak datang untuk menawan dan membawa mereka untuk diadili di Demak, tetapi sesudah itu keluarga-keluarga mereka juga habis semua dibantai oleh prajurit Demak di bawah pimpinan para Wali. 

Tetapi bayi Jaka Tingkir berhasil diselamatkan oleh Sunan Kalijaga setelah mata batin Sunan Kalijaga melihat sebuah cahaya terang di wajah bayi itu, cahaya wahyu keprabon ! Dalam pandangan batinnya bayi itu adalah penerus raja-raja Majapahit dan wahyunya sudah turun kepadanya ! Diam-diam bayi itu pun dilarikannya dan diserahkannya kepada Nyai Tingkir di pengungsian, yang suaminya juga telah tewas dalam pembantaian oleh prajurit Demak. Sejak kecil Jaka Tingkir senang mengembara, ke bukit-bukit, ke gunung-gunung, keluar masuk hutan angker, mengunjungi tempat-tempat wingit dan angker atau menyepi di goa-goa. Jaka Tingkir adalah seorang anak yang bandel dan tak pernah kapok walau sering sekali dimarahi oleh ibu angkatnya, Nyai Tingkir, karena sering tidak pulang dan jarang sekali berada di rumah. Wataknya keras digembleng oleh alam, tetapi sangat menjunjung tinggi sikap ksatria dan tanggung jawab. Ia suka sekali datang ke tempat-tempat berbahaya dan "terlarang". Menyusup dan mengobrak-abrik sarang penyamun adalah kegemarannya. Semakin berbahaya situasinya, semakin menarik dan menantang baginya. Karena kesukaannya menyusup dan mengobrak-abrik sarang penyamun sosoknya menjadi momok yang membuat para penyamun dan perampok jengkel dan geram. Sekalipun ia sudah terkepung, tetapi ia sendirian bisa melukai lawan-lawannya dan selalu bisa lolos dari kepungan, bahkan juga mengobrak-abrik sarang mereka, membuat banyak sekali kerusakan. Ia hanya dikenal dengan nama Jaka dari desa Tingkir, tetapi setiap diburu sampai ke rumahnya di desa Tingkir, ia selalu sedang tidak berada di rumah. Walaupun aslinya dirinya yang anak seorang bangsawan diberi nama Raden Mas Karebet, tetapi karena sedang tinggal di pengungsian ibu angkatnya menyembunyikan nama aslinya itu. Ia hanya dipanggil Jaka (Joko) saja. Nyai Tingkir sendiri juga menyembunyikan identitas asli dirinya. Dan karena di tempat pengungsian itu terdapat banyak pengungsi dari berbagai tempat orang-orang tidak mengenal jati dirinya yang asli. 

Tetapi masyarakat masih bisa mengenalinya sebagai seorang ningrat dan menghormatinya. Masyarakat sangat menghormati kesepuhan pribadinya sehingga ia dianggap sebagai sesepuh desa Tingkir dan oleh orang-orang dari luar desa Tingkir ia sering disebut Nyai Tingkir. Pada masa penyebaran agama Islam itu memang sangat gencar dilakukan perburuan oleh prajurit Demak dan laskar santrinya terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan Syech Siti Jenar dan kerajaan Majapahit dan tidak ada larangan untuk membunuh mereka. Karena itu orang-orang di pengungsian sangat memahami bahwa mereka harus menjaga kerahasiaan identitas asli mereka masing-masing sehingga tidak ada di antara mereka yang ingin tahu / mempertanyakan aslinya jati diri seseorang. Mereka juga harus selalu waspada terhadap kemungkinan adanya mata-mata dari Demak. Di setiap tempat yang dikunjunginya Jaka Tingkir selalu menyempatkan diri untuk menimba ilmu kanuragan maupun kesaktian gaib. Selain sering menyepi dan bertapa di goa-goa dan melatih sendiri keilmuannya, Jaka Tingkir juga sering mengunjungi panembahan-panembahan, resi dan begawan untuk belajar agama dan untuk memperdalam keilmuan kanuragannya. Semakin bertambah usianya semakin bertambah ilmunya, sehingga ia memiliki kesaktian yang sulit sekali dicari tandingannya di antara anak-anak lain seusianya pada masanya. Bahkan di masa remajanya itu ia mampu menciptakan sendiri suatu ilmu pukulan yang di dalam novel silat Nagasasra dan Sabuk Inten disebut aji Rog-Rog Asem, yaitu suatu ilmu pukulan yang sejenis dengan aji Sasra Birawa, yang kekuatannya dipusatkan di sisi telapak tangan. Ilmu itu sering dilatihnya dengan memukul batang-batang pohon besar, terutama adalah pohon asem yang besar batangnya lebih besar daripada sepelukan orang dewasa dan yang sedang berbuah. Sekali pukul saja pohon asem itu goncang sampai buah-buahnya berjatuhan ke tanah, sehingga ia tidak perlu memanjat pohonnya untuk memetik buahnya seperti yang dilakukan oleh orang lain. Kesaktian Jaka Tingkir menjadi semakin matang setelah ia bertemu dan digembleng oleh Ki Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, yang walaupun berilmu tinggi dan mampu sendirian menjungkir-balikkan prajurit Demak dan para Wali yang menjadi pemimpinnya, tetapi memilih menyingkir, menjauhi intrik-intrik kekuasaan. 

Mereka berani bertarung mempertaruhkan hidup dan mati melawan para penjahat dan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam, tetapi mereka tidak mau terlibat dalam kekisruhan politik dari orang-orang yang tega menganiaya dan menumpahkan darah orang untuk memaksakan agamanya. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang sakral dan bersifat pribadi. Agama adalah hubungan yang pribadi seseorang dengan Tuhan sesembahannya, tidak untuk dipaksakan kepada orang lain. Sekalipun Jaka Tingkir tidak berguru kepadanya, tetapi ia menerima gemblengannya juga. Jaka Tingkir banyak menerima gemblengan dari banyak orang, karena ia mampu merendahkan hati dan menghormati semua orang dan mau belajar. Dan keunikannya, walaupun ia hanya menerima sedikit-sedikit saja ilmu, tetapi ia mampu mempelajarinya sendiri sampai kepada sisi spiritual dari keilmuannya itu, sehingga ia dapat mengembangkan ilmunya menjadi tumbuh besar berbuah dan matang di dalam dirinya. Jaka Tingkir menjadi satu dari sedikit orang yang mewarisi ilmu-ilmu kesaktian tua jaman Majapahit. Ia juga mendapatkan hati dan simpati dari orang-orang tua berdarah Majapahit. Jaka Tingkir tanpa disadarinya telah membentuk dirinya menjadi wadah yang tepat dari wahyu raja dan wahyu keilmuan yang telah ada di dalam dirinya. Maka setelah mendapat restu dari pamannya Ki Kebo Kanigara dan ibu angkatnya Nyai Tingkir, berangkatlah Jaka Tingkir ke Demak. Masih terbayang-bayang dalam pikirannya pertemuannya dengan Sunan Kalijaga yang menyuruhnya pergi mengabdi ke Demak. "Kamu adalah penerus raja-raja leluhurmu. Kamu bukan orang biasa. Kamu adalah Anak Majapahit". Antara percaya dan tidak atas kata-kata itu, Jaka Tingkir terus merenungkannya dalam hatinya. Sedikit banyak Jaka Tingkir berharap pada kebenaran kata-kata Sunan Kalijaga, karena di matanya, beliau adalah tokoh pengayom masyarakat yang dapat dijadikan tempat bernaung. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang sangat ia hormati selain Syech Siti Jenar. 

Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat populer di kalangan rakyat. Walaupun ia sendiri tidak secara langsung mengenal tokoh Syech Siti Jenar, dan banyak hasutan dan fitnah dialamatkan kepadanya, tetapi dari cerita di masyarakat Jaka Tingkir dapat mengenal kearifannya, seorang tokoh karismatik yang selalu mengajarkan keluhuran budi dan pekerti, tidak pernah mengajarkan penindasan, penganiayaan, apalagi pembunuhan kepada orang lain walaupun berbeda keyakinan, karena untuk dapat sampai kepada Tuhan harus didasari kesucian hati dan kasih, bukan kemunafikan, kebencian dan permusuhan. Sesuai petunjuk ibunya, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya yang menjadi penjaga mesjid di Demak, supaya lebih mudah mengambil kesempatan saat ada penerimaan prajurit baru. Sekalipun ia bukan penganut agama Islam, tetapi ia rajin membantu pamannya merawat dan membersihkan mesjid. Ia juga sering berdiam di pojok halaman belakang mesjid yang gelap dan sepi untuk tidur atau bersemadi. Seringkali ia melamun merenungkan arti kata-kata Sunan Kalijaga. " Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu, karena kamu akan sering menjadi batu sandungan bagi orang lain. Jagalah, jangan sampai perilakumu membuatmu jauh dari jalanmu yang seharusnya. Raja-raja yang sekarang berkuasa bukanlah raja-raja yang sesungguhnya. Mereka hanyalah kerikil di dalam sejarah tanah Jawa. Janganlah kamu terbawa arus dalam kekisruhan politik. Dan jangan kamu mengumbar emosimu dan menonjolkan kesaktianmu. Akan tiba dengan sendirinya bahwa kamulah yang akan menjadi pewaris tanah Jawa". Ketika tiba saatnya Sultan Trenggana, raja Demak, akan sholat Jum'at di mesjid, banyak rakyat berkerumun untuk menyambut kedatangannya. Jaka Tingkir juga ikut di dalam kerumunan rakyat di luar halaman mesjid, ingin melihat langsung sosok rajanya. Ketika sang raja sudah dekat, semua orang menunduk menyembah memberi hormat. Begitu juga Jaka Tingkir. Tetapi ia terlambat menyadari ketika orang-orang lain di sekitarnya sudah mundur untuk memberi jalan kepada rajanya, ia masih diam di tempatnya berjongkok menyembah. Dan ketika sang raja sudah dekat sekali berdiri di hadapannya, Jaka Tingkir kaget dan gugup dan dengan masih berjongkok menghormat kepada rajanya ia melompat mundur sejauh-jauhnya, sampai melewati blumbang parit kecil di belakangnya. Tak urung perilakunya itu diperhatikan oleh sang raja. 

Sultan Trenggana yang juga memiliki kesaktian tinggi sempat melihat cara Jaka Tingkir melompat mundur. Beliau maklum bahwa sang anak muda karena gugupnya kemudian melompat mundur jauh sejauh-jauhnya sampai melewati blumbang. Mungkin banyak orang yang dapat meniru melompat mundur sampai melewati blumbang itu. Tetapi yang beliau terkesan adalah cara sang anak muda melompat mundur. Melompatnya itu masih tetap dalam posisi berjongkok menunduk menyembah, dan yang istimewa, kedua kakinya hampir tidak kelihatan bergerak melakukan lompatan, seperti melayang mundur dalam posisi berjongkok menyembah. Beliau maklum, anak muda itu pastilah bukan orang biasa. Meringankan tubuhnya baik sekali. Seusai sholat Jum'at, sang Sultan mencari keberadaan sang anak muda, tetapi tidak ditemukannya di antara orang-orang yang beribadah di mesjid dan juga tidak ada di halaman mesjid. Jaka Tingkir memang sudah tidak berada di sekitar mesjid karena ia tidak ikut beribadah. Maka sang Sultan bertanya tentang sang anak muda yang dilihatnya melompat mundur melewati blumbang kepada sang penjaga mesjid. Sambil memohon ampun bahwa mungkin tindakan anak muda itu tidak berkenan bagi sang raja, paman Jaka Tingkir itu mengatakan bahwa anak muda itu adalah keponakannya yang baru datang dari desa untuk mencari peruntungan di Demak. Sang raja mengernyitkan dahi seolah tak percaya sang penjaga mesjid mempunyai keponakan yang sebagus itu ilmunya. Kemudian sang raja memberi nasehat supaya keponakannya itu ikut mendaftarkan diri ketika ada bukaan penerimaan prajurit baru di kerajaan Demak. Sebulan kemudian diadakanlah penerimaan prajurit baru di kerajaan Demak. Jaka Tingkir ikut mendaftar. 

Walaupun tubuhnya tidak tampak kuat gempal berotot seperti kebanyakan peserta yang mendaftar, tetapi dengan posturnya yang ramping dan tegap Jaka Tingkir mampu melewati semua tahapan ujian dengan memuaskan. Akhirnya, dengan diterimanya Jaka Tingkir sebagai prajurit baru, dimulailah kehidupannya yang baru di dalam lingkungan kerajaan Demak. Beberapa waktu kemudian diadakan lagi ujian kenaikan pangkat. Jaka Tingkir dapat secara memuaskan melewati semua ujian. Bahkan seolah-olah tidak ada kesulitan apa-apa baginya dalam menjalani semua ujian yang diadakan sampai-sampai membuat penasaran para pengujinya. Karena itulah Jaka Tingkir, yang masih berpangkat prajurit, sampai diadu tanding ditarungkan melawan senior-seniornya yang berpangkat kepala prajurit. Bukan hanya satu melawan satu, tetapi sampai diadu melawan 3 orang kepala prajurit sekaligus. Sang raja Sultan Trenggana yang ikut menonton adu tanding itu dapat menilai bahwa selain Jaka Tingkir dapat mengimbangi ke 3 orang kepala prajurit itu, dinilainya juga bahwa Jaka Tingkir sesungguhnya menyimpan kemampuan yang melebihi ke 3 orang tersebut, tetapi tidak diperlihatkannya. Bahkan mungkin anak muda itu dapat mengalahkan mereka semua bila dikehendakinya. Diam-diam ia pun merasa kagum. Anak muda itu adalah yang dulu dilihatnya di depan mesjid. Masih sangat muda tetapi memiliki kemampuan yang bahkan lebih tinggi dibandingkan senior-seniornya. Wajahnya pun bersih dan bersinar, tampak nyata ketika dibandingkan dengan prajurit-prajurit lain saat berdiri di dalam barisan. Akhirnya Sultan Trenggana mengeluarkan keputusan, Jaka Tingkir bukan hanya pangkatnya saja yang dinaikkan, tetapi juga dijadikan anggota penjaga bagian dalam keraton dan sekaligus juga diangkat menjadi anggota pasukan khusus pengawal raja. Jaka Tingkir menonjol kecerdasan dan keprigelannya dan disukai oleh teman-temannya. Ia juga dipercaya dan diandalkan untuk mengawal raja, permaisuri atau anak-anak raja ketika bepergian keluar istana. Dan sebagai anggota penjaga bagian dalam istana, ia bebas berkeliling memeriksa setiap pelosok bagian istana. Hanya bagian dalam kamar raja dan kaputren saja yang tidak boleh dimasukinya. 

Tetapi kedekatan Jaka Tingkir dengan keluarga raja menumbuhkan percintaan Jaka Tingkir dengan putri bungsu raja, sesuatu yang sangat terlarang. Tetapi rahasia itu akhirnya diketahui juga oleh sang raja. Hingga suatu saat Sultan Trenggana sengaja menangkap basah mereka saat sedang berduaan di taman kaputren pada malam hari. Tetapi karena saat itu Sultan Trenggana sengaja menyamarkan identitasnya, berpakaian biasa saja dan memakai penutup wajah, maka terjadilah perkelahian antara Jaka Tingkir dan sang Sultan karena Jaka Tingkir ingin menangkap orang itu yang disangkanya sebagai seorang pencuri yang masuk ke dalam istana. Dan karena dalam perkelahian itu dirasakannya lawannya itu berkemampuan tinggi, Jaka Tingkir mengetrapkan ilmunya aji Lembu Sekilan untuk melindungi dirinya. Ketahanan tubuhnya dan lapisan energi lembu sekilan itu membuat pukulan dan tendangan lawannya olehnya tidak lagi terasakan sakit. Tetapi sesudah lawannya itu menyadari bahwa Jaka Tingkir mengetrapkan suatu ilmu yang membuat tubuhnya dilapisi selapis energi padat yang membuat pukulan dan tendangannya seolah-olah tidak terasakan sakit oleh Jaka Tingkir, kemudian lawannya itu juga mempamerkan ilmunya aji Tameng Waja yang membuat Jaka Tingkir merasa pukulan dan tendangannya tak banyak berarti terhadap lawannya, rasanya seperti memukuli orang yang memakai baju besi. Akhirnya dengan maksud menyudahi pertarungan Jaka Tingkir mengerahkan kekuatannya yang tertinggi, ditrapkannya ajinya Rog-Rog Asem. Dengan memusatkan kekuatan kebatinannya dipusatkannya kekuatannya di sisi telapak tangannya. Dihantamkannya ajiannya itu telak mengenai dada lawannya yang sengaja tidak menghindar karena ingin tahu batas kekuatan Jaka Tingkir. Lawannya yang juga mengetahui bahwa Jaka Tingkir sudah memusatkan kekuatannya yang tertinggi juga sudah memusatkan kekuatan tertingginya dalam ajiannya Tameng Waja itu. Tetapi diluar dugaannya akibat dari hantaman ilmu Jaka Tingkir itu ia tersentak terdorong jauh ke belakang. Sakit sekali dadanya seperti dihantam gunung runtuh, sakit sekali rasanya sampai terasa sesak sulit bernafas. Matanya gelap berkunang-kunang sampai terhuyung-huyung hilang keseimbangan hampir jatuh. Jaka Tingkir sendiri tersentak juga ke belakang. Terasa sesak dan sakit dadanya dan sempat berkunang-kunang juga matanya. Akibat dari benturan adu kekuatan itu lawan Jaka Tingkir merasakan sakit sekali dadanya. Semua otot urat dan sendi-sendi tubuhnya sakit sekali seperti lepas satu per satu dan matanya masih saja berkunang-kunang. Sama sekali tidak diduganya bahwa Jaka Tingkir mempunyai ilmu setinggi itu. Tetapi lawannya itu berusaha untuk segera menguasai kembali kesadarannya yang sempat hilang. Akhirnya lawannya itu juga mengetrapkan ilmu andalannya aji Braja Geni yang menjadikan seluruh tubuhnya, tangan dan kakinya panas membakar. Kali ini lawannya itu berubah seolah-olah menjadi manusia api yang menyala berkobar-kobar dan selama berkelahi dengannya Jaka Tingkir merasa seperti dirinya masuk ke dalam kobaran api yang panas. Pukulan dan tendangan lawannya dirasakan sakit dan panas oleh Jaka Tingkir. Pernafasannya juga terganggu karena paru-parunya terasa seperti menghisap udara panas. 

Dan ada pukulan lawannya yang hampir saja mengenai wajahnya, walaupun berhasil dihindarinya, tetapi wajah Jaka Tingkir tetap terasa panas seperti disembur api. Walaupun kekuatan tertingginya telah ditrapkan dalam ilmu pertahanannya Lembu Sekilan, ternyata kesaktian lawannya itu masih lebih tinggi dari dirinya dan mampu menembus pertahanan ilmu Lembu Sekilannya. Sang Sultan sendiri merasakan serangan-serangan Jaka Tingkir yang masih dilambari aji Rog-Rog Asem sangat menyakiti tubuhnya. Kekuatan ilmu Jaka Tingkir ternyata mampu menembus kekebalan ilmu Tameng Wajanya. Tetapi ia juga merasa bahwa kesaktiannya masih lebih tinggi daripada Jaka Tingkir.

Baca Juga

Tetapi sebelum sempat Jaka Tingkir berteriak memanggil prajurit-prajurit yang lain karena dirasakannya ilmu lawannya masih lebih tinggi darinya dan sulit untuknya bisa sendirian menangkap lawannya itu, sang Sultan yang tidak mau ada kejadian yang lebih buruk lagi akibat dari perkelahian mereka itu sudah lebih dulu membuka jati dirinya. Tutup wajahnya dibukanya sehingga jelas bagi Jaka Tingkir siapa sesungguhnya lawan yang sedang dihadapinya itu. Sekalipun kelakuan Jaka Tingkir dan putrinya itu adalah aib bagi keluarga raja dan kerajaan, tetapi di dalam kemarahannya Sultan Trenggana masih dapat berpikir bijak. Sebagai hukumannya ia mengusir Jaka Tingkir keluar dari istananya dan melarangnya berada di Demak dan sekitarnya. Dan kepada semua orang yang mengetahui kejadian itu diperintahkannya untuk tutup mulut. Bahkan disiarkannya kabar bahwa Jaka Tingkir pergi diusir dari istana karena berkelahi dan membunuh temannya sesama pengawal raja, Dadung Awuk. Tetapi akibat dari perkelahian mereka itu keesokan harinya masing-masing sang Sultan dan Jaka Tingkir merasakan tubuh mereka sakit-sakit. Ada banyak bekas pukulan biru legam di sekujur tubuh sang Sultan. Begitu juga dengan Jaka Tingkir, ada banyak bekas pukulan gosong menghitam di tubuhnya seperti bekas terbakar. Hebat sekali, pikir sang Sultan, semuda itu sudah mempunyai kanuragan setinggi itu, hampir menyamai dirnya. Entah berapa tahun lagi, bila ilmunya sudah semakin matang, pasti Jaka Tingkir akan mampu melebihi dirinya. Sayang sekali kesalahannya itu tak dapat begitu saja dimaafkan. Tetapi karena Jaka Tingkir bukan orang jahat, dan bukan pemberontak, suatu saat masih dapat berguna bagi Demak, maka sang Sultan memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman badan yang berat kepadanya. Jaka Tingkir hanya diusir saja keluar dari Demak. Suatu saat ia masih dapat kembali lagi ke Demak bila diperlukan. Jadilah Jaka Tingkir kembali mengembara di alam bebas, keluar jauh dari lingkungan istana. Beberapa kali juga Jaka Tingkir tinggal bersama pamannya Ki Kebo Kanigara dan kembali menikmati penggemblengan kanuragan, kebatinan dan spiritual. Bersama pamannya dan teman-temannya, serta beberapa tokoh tua jaman Majapahit, mereka menjauhi dunia perpolitikan dan merahasiakan identitas mereka sebagai keturunan Majapahit yang dapat dipandang sebagai duri oleh kerajaan Demak. Pada masa itu terjadi banyak sekali persaingan untuk memperebutkan tahta kerajaan Demak. Bahkan di luar istana, banyak kalangan dari dunia hitam yang juga bersaing memperebutkan tahta Demak. Bahkan simbol kekuasaan kerajaan saat itu, yaitu sepasang keris pusaka sakti Nagasasra dan Sabuk Inten, sampai hilang dicuri orang. 

Kerajaan Demak telah mengerahkan para prajurit telik sandinya untuk mencari dan membawa pulang keris-keris tersebut, tetapi tidak juga dapat ditemukan keberadaannya. Pada masa itu berkembang suatu kepercayaan bahwa siapapun yang berhasil mendapatkan dan menguasai pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten akan lebih mudah jalannya menuju kekuasaan menjadi raja tanah Jawa. Dengan demikian pusaka-pusaka itu menjadi incaran banyak orang, bukan hanya menjadi incaran orang-orang di lingkungan kerajaan, tetapi juga orang-orang dari luar istana yang mengincar kekuasaan kerajaan, termasuk juga kalangan dunia persilatan golongan hitam. Di dunia persilatan saat itu sering sekali terjadi bentrokan antara golongan putih dan golongan hitam. Hutan Mentaok, Gunung Tidar dan Gunung Merapi dijadikan sarang oleh banyak kelompok penyamun. Masing-masing kelompok dipimpin oleh tokoh yang sakti. Golongan hitam, yang kebanyakan adalah kelompok-kelompok perampok dan penyamun, diperangi oleh kelompok golongan putih yang membela kebenaran dan melindungi rakyat. Jaka Tingkir dan kelompok pamannya yang tergolong sebagai golongan putih aktif memerangi golongan hitam. Mereka juga ikut membantu pihak kerajaan dengan cara yang tidak tampak di permukaan untuk menemukan pusaka-pusaka kerajaan yang hilang. Sekalipun kelompok mereka dimusuhi oleh pihak kerajaan, tetapi didasari oleh budi pekerti yang tinggi, mereka tidak memusuhi kerajaan. Siapapun rajanya, akan mereka dukung, selama raja itu menjunjung tinggi kebenaran dan melindungi rakyatnya. Setelah melalui banyak pertarungan besar yang mengakibatkan banyak korban jiwa akhirnya mereka golongan putih berhasil menumpas pemimpin-pemimpin gerombolan golongan hitam beserta para pengikutnya dan berhasil juga merampas kembali sepasang keris pusaka kerajaan Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan mereka dan menyerahkan keris-keris itu kembali kepada raja Demak Sultan Trenggana. Kepada mereka semua yang telah berjasa mengembalikan pusaka-pusaka tersebut, Sultan Trenggana memberikan penghargaan besar. Kelompok Jaka Tingkir dan pamannya Kebo Kanigara tidak lagi dimusuhi oleh pihak kerajaan, karena selain telah berjasa kepada kerajaan, mereka juga menyatakan janji setia kepada kerajaan, siapapun rajanya, selama sang raja menjunjung tinggi kebenaran dan melindungi rakyatnya. Bahkan Sultan Trenggana mengijinkan putri bungsunya dinikahi oleh Jaka Tingkir, sesuai nasehat dari Sunan Kalijaga, bahwa Jaka Tingkir adalah seorang keturunan Majapahit yang nantinya akan menjadi penerus raja-raja Majapahit. Bila tiba saatnya Jaka Tingkir menjadi raja, maka keturunannya adalah juga keturunan Sultan Trenggana melalui putrinya yang menjadi istri Jaka Tingkir. Setelah resmi menjadi menantu raja Demak, Jaka Tingkir diangkat menjadi Adipati di Pajang, dan sebutannya menjadi Kangjeng Adipati Adiwijaya. 


 Sri Narendra Prameswara https://m.facebook.com/groups/582046885173700?view=permalink&id=2341398505905187

KISAH AJI SAKA DAN ASAL MUASAL AKSARA JAWA

Kisah Aji Saka dan Asal Muasal Aksara Jawa 

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain. Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan. 

Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu. Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya. Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu. Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya. Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya. 

Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera. Terciptanya Aksara Jawa Huruf (aksara) Jawa terdiri dari duapuluh yaitu ; ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga (dalam ucapan/sebutan: ho-no-ro-ko-do-to-so-wo-lo-po-dho-jo-yo-nyo-mo-go-bo-tho-ngo), yang didalamnya ternyata mengandung arti menceritakan sebuah legenda, yaitu tentang seorang pahlawan dalam mitologi yang datang dari Makkah sedang berkelana ke berbagai negara, yang kemudian diketahui bernama Ajisaka.  

Ajisaka datang di Srilangka pantai India Selatan kemudian di Sokadana (mungkin yang dimaksud adalah Sumatera) dan akhirnya tiba suatu tempat di Pulau Jawa yang waktu itu masih dihuni oleh raksasa-raksasa. Pertamakali, Ajisaka menemukan sejenis gandum yang dinamakan “jawawut” sebagai makanan pokok penduduk di tempat itu, yang kemudian ia memberi nama pulau itu menjadi “Nusa Jawa”. Tentang Aji Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah Ajisaka dalam versi yang berbeda. Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dan Hari Jumanto, S.S dalam buku Asal Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang disusun berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat Pustaka Raja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, juga diambil dari kisah-kisah Babad Tanah Jawi. Dr. Purwadi,M.Hum dan Hari Jumanto, S.S menyebutkan, Ajisaka adalah orang yang pertama menginjakkan kaki di tanah Jawa dengan nama Prabu Isaka atau Prabu Ajisaka. 

Prabu Ajisaka diperintahkan untuk berangkat melakukan tapa brata (meditasi) ke sebuah pulau yang sangat panjang. Kata “panjang” dalam bahasa Jawa artinya “dawa”, yang oleh Sang Hyang Guru disebut “jawa” atau “pulau jawa”. Di dalam perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh sampai Bali masih bersatu. Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan bermukim di Gunung Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara Probolinggo dan Besuki (Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala. Aji Saka kemudian menemukan dua Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka melihat tangan mereka masing-masing menggenggam “daun lontar yang berisi tulisan”, di tangan raksasa yang satu bertuliskan huruf “purwa” (kuno) dan satunya lagi huruf Thai. Setelah dua tulisan tersebut disatukannya, Ajisaka menciptakan Abjad (Aksara) Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, sebagaimana telah disebutkan di awal. Tidak sekedar menciptakan aksara, akan tetapi Ajisaka juga memberikan arti dalam setiap lajur aksara Jawa tersebut, yaitu: Ha-na-ca-ra-ka (ho-no-co-ro-ko) = ada dua utusan (dua raksasa), Da-ta-sa-wa-la (do-to-so-wo-lo) = saling bertengkar/berkelahi, Pa-dha-ja-ya-nya (po-dho-jo-yo-nyo) = sama-sama kuat dan sakti, Ma-ga-ba-tha-nga (mo-go-bo-tho-ngo) = akhirnya mereka “sampyuh” (mati bersama). Dalam versi yang berbeda, di dalam buku “Nawang Sari” (Fajar Pustaka Baru:Yogyakarta:2002) DR. Damardjati Supadjar mengatakan mengatakan terjadi salah kaprah pemahaman kandungan makna dari honocoroko seperti tersebut diatas. Damardjati Supadjar mengutip ungkapan Ki Sarodjo “bagi perasaan saya rangkaian huruf di dalam carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan suatu ungkapan filosofis yang berlaku universal dan sangat dalam artinya dan membawa kita tunduk dan taqwa kepada Allah”. 

Baca Juga

Menurut Ki Sarodjo, yang benar adalah: honocoroko, (hono= ada) (coroko= Cipto-Roso-Karso) sehingga honocoroko = ada cipta-rasa dan karsa, dotosowolo,(doto = datan atau tanpa) (sowolo= suwolo atau menentang) sehingga dotosowolo = tidak menentang atau tidak keberatan atau pasrah kemudian podhojoyonyo (podho = sama sama), (joyonyo = sukses/berjaya) sehingga podhojoyonyo = sama sama sukses) dan mogobothongo ( mogo = meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi, (bothongo = bathiniyah = spiritualitas) sehingga mogobhotongo = meletakkan potensi taqwa dan amal di dalam hati sanubari serta disimpan pada tempat yang tinggi. 

Artinya, derajat seseorang muslim/muslimat bukan terletak pada kekuasaannya, kepandaiannya, kekayaannya, kegagahannya, kekuatannya, akan tetapi terketak pada “ketaqwaannya”. ...

ARTI DARI BILANGAN SEWELAS, SELAWE, SEKET, SEWIDAK

PENYIMPANGAN POLA PENAMAAN BILANGAN DAN PETUAH USIA JAWA.

Mencermati urutan bilangan, terutama dalam bahasa Jawa, akan menimbulkan pertanyaan tentang nama bilangan yang menyimpang (berbeda) dari pola yang ada. Penyimpangan tersebut terjadi pada beberapa angka sampai angka 60. Ya, sampai angka 60, tidak jauh-jauh dari capaian usia manusia Jawa. Sepertinya penyimpangan tersebut memang ditujukan untuk mengingatkan usia manusia. Coba kita lihat. 

Pertama angka 11-19 tidak disebut sepuluh siji, sepuluh loro, …, sepuluh songo; melainkan sewelas, rolas,…, songolas. Disini sepuluhan diganti welasan. Artinya pada usia 11-19 adalah saat-saat berseminya rasa welas asih (belas kasih) terutama kepada lawan jenis. Masa akil balik. Masa remaja. Dalam banyak bahasa bilangan 11-19 memang diberi nama dengan pola yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan belasan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan teen, sehingga remaja pada usia tersebut disebut teenagers. 

Selanjutnya bilangan 21-29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada. Dalam bahasa lain biasanya sesuai pola. Misal dalam bahasa Indonesia diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua,…, dua puluh sembilan. Dalam bahasa jawa tidak diberi nama rongpuluh siji, rongpuluh loro, dst; melainkan selikur, rolikur, …, songo likur. Di sini terdapat satuan LIKUR yang tidak lain merupakan kependekan dari LIngguh KURsi, artinya duduk di kursi. Pada usia 21-29 itulah pada umumnya manusia mendapatkan “tempat duduknya”, pekerjaannya, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya; apakah sebagai pegawai, pedagang, seniman, penulis, dan lain sebagainya. 

Namun demikian ada penyimpangan di atas penyimpangan tadi. Bilangan 25 tidak disebut sebagai limang likur, melainkan selawe. SELAWE singkatan dari SEneng-senenge LAnang lan WEdok. Puncak asmaranya laki-laki dan perempuan, yang ditandai oleh pernikahan. Maka pada usia tersebutlah pada umumnya orang menikah(dadi manten) Mungkin tidak tepat pada usia 25, tapi diantara 21-29 lah yang pas. Pada saat kedudukan sudah diperoleh, pada saat itulah seseorang siap untuk menikah. 

Bilangan selanjutnya sesuai dengan pola: telung puluh, telung puluh siji, telung puluh loro, dst. Tapi ada penyimpangan lagi nanti pada bilangan 50. Setelah sepuluh, rongpuluh, telung puluh, patang puluh, mestinya limang puluh. Tapi 50 nama -nya menjadi seket. Pasti ada sesuatu di sini. SEKET dapat dipanjangkan menjadi SEneng KEthonan, suka memakai kethu/tutup kepala/topi/kopiah. Tanda Usia semakin lanjut, tutup kepala bisa utk nutup botak, atau rambut yang memutih. Di sisi lain bisa juga Kopiah atau tutup kepala melambangkan orang yang beribadah. Pada usia 50 mestinya seseorang lebih memperhatikan ibadahnya. Setelah sejak umur likuran bekerja keras mencari kekayaan untuk kehidupan dunia, sekitar 25 tahun kemudian, yaitu pada usia 50 perbanyaklah ibadah, untuk bekal memasuki kehidupan akhirat. 

Baca Juga

Dan kemudian masih ada satu bilangan lagi, yaitu 60, yang namanya menyimpang dari pola, bukan enem puluh melainkan sewidak atau suwidak. T SEWIDAK dapat dipanjangkan menjadi SEjatine WIs wayahe tinDAK. Artinya: sesungguhnya sudah saatnya pergi. Maka kalau usia kita sudah mencapai 60, lebih berhati-hatilah dan tentu saja semakin banyaklah bersyukur, karena usia selebihnya adalah bonus. Jadi yg sdh nyeket……ayooo semakin semangat ibadahnya….. … itulah berkata istilah…. Semoga berguna…

SANSEKERTA BAHASA KITA BUKAN INDIA

SANSEKERTA BAHASA KITA BUKAN INDIA

Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa bangsa Nusantara,Indonesia maju terdahulu,bukan bahasa dan berasal dari "lndia" saat ini... Salah kaprah dan propaganda "Kolonialis",telah menjadikan bangsa ini seolah hanya menjadi bangsa pengimport "Budaya" dan "Bahasa" bangsa lain Saat menjajah....negri ini dinamai "Hindia Belanda" ...hanya dengan satu huruf..."H" hilang...sempunalah... kata "india"...itu menjadi anggapan sumber budaya dan bahasa bangsa Nusantara..dan kita diam Perhatikan : Bahasa "Sansekerta" telah lama ada di Nusantara sejak ribuan tahun lalu di pergunakan leluhur kita,literasi kata "bahasa" (bhāṣa) itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta berarti "logat bicara" ini asli bahasa kita Penelitian bahasa Sanskerta oleh bangsa Eropa dimulai oleh Heinrich Roth(1620–1668),Johann Ernst Hanxleden(1681–1731) Sir William Jones, berceramah kepada Asiatick Society of Bengal di Calcutta, 2 Februari 1786, berkata: “..Bahasa Sanskerta, bagaimanapun kekunaannya, memiliki struktur yang menakjubkan...lebih sempurna daripada bahasa Yunani,lebih luas daripada bahasa Latin lebih halus dan berbudaya daripada keduanya,namun memiliki keterkaitan yang lebih erat pada keduanya...baik dalam bentuk akar kata-kata kerja maupun bentuk tata bahasa...yang tak mungkin terjadi hanya secara kebetulan..sangat eratlah keterkaitan,sehingga tak ada seorang ahli bahasa yang bisa meneliti ketiganya...tanpa percaya bahwa mereka muncul dari sumber yang sama,yang kemungkinan sudah tidak ada.." .... muncul dari sumber yang sama,yang kemungkinan sudah tidak ada.."..kata kata terakhir... William Jones,Ini membuktikan sumber "Sansekerta"..itu bukan berada di tempat ia berceramah.."India".. Dalam bahasa Indonesia saat ini ada sekitar 800 kata-kata dari bahasa Sanskerta antara lain :(cintā):cinta,agama (āgama)antariksa (antarikṣa,(arcā)patung,bahaya (bhaya),bejana (bhājana),bidadari(vidyādharī)Buddha (buddha)seseorang yang telah sadar.... Kata-kata ini ada yang diserap langsung dari bahasa aslinya,yang terserap dari bahasa Jawa dipakai sebagai pembentukan kata-kata baru disebut "Neologisme"... ...ing bausastrané Jawa Kuna kurang dari 50% dari itu,bauwarnané, asalé saka basa Sangskreta... Catatan "Mainstream" saat ini tentang Sansekerta adalah terpublikasi nama "Panini" kemudian Devanagari,Bahasa Brahmin lebih tua lagi "Aramik"..itulah sumber sansekerta...benarkah..? 

 ● Pāṇini,orang Pakistan pertama kali menulis tentang tata bahasa Sanskerta yang berjudul Aṣṭādhyāyī,buku tata bahasa Sanskerta karyanya ini memuat 3.959 hukum bahasa Sanskerta ditulis abad ke-5 SM 

Baca Juga

 ● Aksara Devanāgarī/dari bahasa Sanskerta "Kota Dewa" Aksara ini muncul dari aksara "Brahmi" dan mulai dipergunakan pada abad ke-11 

 ● Aksara Brahmi,Aksara ini ditulis dari kiri ke kanan,menurut hipotesis aksara ini berdasarkan huruf "Aramea" digunakan Raja Asoka 270 SM - 232 SM 

 ● Abjad/Bahasa,Aramaik adalah yang dipakai masyarakat Aram, yang tinggal di daerah sekitar Mesopotamia/Siria,sekitar abad ke-10 SM,Kekaisaran Akhemenid 331 SM,Aram Kuno 500 SM,berubah menjadi Aram Imperial/bahasa kekaisaran Perhatikan : Semua yang di anggap sumber abjad/bahasa paling tua adalah thn 500 SM,Sementara di Nusantara jauh sebelum tahun itu telah berdiri tempat belajar ilmu pengetahuan, setingkat Pusat Universitas di antaranya ilmu bahasa ...."Sansekerta" Tempat belajar setingkat Pusat Universitas bernama "Dharma Phala" di svarnadvipa di bangun sebelum "Nalanda" di Bihar India thn 427 M Tokoh Dharmapala 670-580 SM lahir di Svarnadvipa adalah murid Dharmadasa,guru Dharmakirti dan lainya pelopor ajaran "Dharma/Dhamma" di tanah india Jadi...Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa asli Nusantara,di pelajari dan di pakai oleh leluhur kita menyebar ke 3/4 muka bumi bersamaan dengan penyebaran palsafah ajaran "Dharma/Dhamma",yang mendasari tumbuhnya 3 Agama besar di India... Kita lah yang mewarnai India...di tandai dengan bahasa "Sansekerta" dan Palsafah dasar utama.."Dharma/Dhamma"... Rahayu...

TRADISI NYADRAN. APA SI NYADRAN ITU?

Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran tak lepas dari upacara yang pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa penganut agama Hindu. Tradisi Nyadran atau Srada dilaksanakan pada masa kerajaan Majapahit. Srada dilaksanakan oleh Raja Hayam Wuruk untuk memperingati kematian Rajapatni. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Badra tahun Jawa 1284 atau 1362 M. 

Nyadran juga disinggung dalam kitab Pararaton meskipun hanya sekilas. Dalam tradisi Jawa asli, Srada hanya dilaksanakan satu kali untuk satu orang setelah kematiannya mencapai 12 tahun hitungan Jawa. Rajapatni yang dimaksud adalah Putri Gayatri, putri bungsu Raja Kertarajasa yang mangkat pada 1350 M. Upacara Srada dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut. Lambat laun Srada menjadi tradisi masyarakat Jawa ketika itu. Pada hari-hari tertentu, mereka membawa sesaji yang terdiri dari hasil panen dan makanan untuk dibawa ke Punden (makam leluhur) hingga dilarung ke Laut sebagai perlambang puji syukur pada Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ketika Islam masuk ke tanah Jawa sekitar tahun 1.300, para pendakwah yang lebih dikenal dengan Wali Songo merasa harus berhadapan dengan kultur masyarakat yang sangat kental akan tradisi termasuk upacara Srada tersebut. Kala itu para Wali terutama Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) berusaha agar Islam dapat diterima oleh masyarkat Jawa dengan kegembiraan dan tanpa pemaksaan. Para Wali Songo dalam melakukan syiarnya melakukan pendekatan persuasif, mereka menciptakan sesuatu sebagai daya tarik massa.

 Para Wali berusaha untuk tetap menghormati segala sesuatu yang sudah menjadi tradisi para penganut ajaran Hindu maupun masyarakat yang belum memiliki agama. “Kuatnya keyakinan masyarakat akan tradisi membuat para Wali Songo menggunakan cara pendekatan (menyentuh batin) dengan memasukan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang dianut oleh masyarakat Jawa. Sebab jika menyeru masyarakat Jawa langsung dengan ketegasan syariat Islam, pasti dakwah para Wali Songo akan mendapat penentangan dari masyarakat Jawa waktu itu ,” Pada saat iman masyarakat sudah mantab memeluk agama Islam, mantra-mantra kepada para arwah leluhur saat upacara Srada di Desa Singkal, Kediri oleh Wali Songo diganti dengan bacaan Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dirangkai dengan bacaan surat-surat pendek dari Al Qur’an dan dilestarikan hingga sekarang. Tumpeng Dan Ingkung. Ciri khas Sadranan/Nyadran di Temanggung,Wonosobo, Banyumas, Magelang dan sekitarnya adalah membawa makanan yang berupa Tumpeng, Inkung Ayam dan sayuran masak. Hal tersebut tak lepas dari sejarah silam yang terjadi ketika Wali Songo memerangi Kanibalisme dari para penganut aliran Bhairawa Tantra. Bhairawa Tantra adalah sekte rahasia dari sinkretisme antara agama Budha aliran Mahayana dengan agama Hindu aliran Çiwa. Sekte ini muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah timur. Dari Benggala kemudian tersebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk ke kawasan Dieng, Indonesia. “Bhairawa Tantra adalah bentuk aliran pangiwa (kiri) dari interpretasi ajaran Tantrayana. Sekte ini menyimpang dari ajaran Pancamakara pada Kitab Kali Mantra karena bukan reperentasi ajaran Budha atau ajaran Hindu,”. Salah satu ritual dari Bhairawa Tantra dikenal dengan nama Pancamakarapuja. Saat melakukan upacara Pancamakarapuja, para penganut pangiwa itu berkumpul di sebuah tempat pembuangan mayat yang disebut Ksetra. Mereka membentuk sebuah cakra atau lingkaran sambil membawa Tumpeng. 

Lalu, akan dilakukan 5 ritual yang disebut Mo Limo, yaitu Mamsa (daging), Matsya (ikan), Mada (mabuk), Maithuna (bersetubuh) dan Mudra (meditasi). Ritual Pancamakarapuja akan diawali dengan prosesi memakan daging dan ikan secara ramai-ramai. Kemudian mereka menari-nari dan minum hingga mabuk. Dalam keadaan sakau, para penganut Bhairawa Tantra akan melakukan persetubuhan secara massal. Upacara diakhiri dengan meditasi, ketika tubuh mereka telah kehilangan nafsu birahi. “Pada tingkatan khusus, daging, ikan dan minuman dalam ritual Pancamakarapuja digantikan dengan mayat, ikan suro dan darah manusia yang dibunuh sebagai persembahan,”. Penganut Bhairawa Tantra ini sangat anti terhadap Islam bahkan penganut Hindu dan Budha pun dimusuhi dan para pemuka agama-agama tersebut dibunuh untuk dijadikan sesaji. Hingga seorang ulama dari Iran bernama Sayid Syamsudiin Al Bakir Al Farsi yang oleh masyarakat Jawa di kenal dengan nama Syeikh Subakir yang bertempat tinggal di Gunung Tidar. Sayid Syamsudin terlalu kuat untuk dihadapi oleh para pengikut Bhairawa Tantra sehingga mereka melarikan diri ke Banten dan Banyuwangi. 

 Di Banyuwangi penganut Bhariawa Tantra yang dipimpin Bajul Sengoro dan Minak Sembuyu kewalahan menghadapi Maulana Ishak yang datang dari Malaka dan Putri dari Minak Sembuyu, Dewi Sekardadu, dinikahkan dengan Raden Ishak.

Baca Juga

Dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri). Para pengikut Bhairawa Tantra di Banyuwangi ternyata tidak semuanya menyerah. Mereka sebagian lari ke Bali dan sebagian lari ke Kediri. “Di Kediri mereka di hadang Sunan Bonang dan mengalami kekalahan sehingga semua pengikut Bhairawa Tantra bertaubat. Sunan Bonang masih mempersilahkan mereka tetap melakukan Pancamakarapuja dengan memakan Tumpeng namun meminum arak harus dihentikan. Persetubuhan di dalam upacara harus dihilangkan dan daging manusia diganti dengan daging ayam berbentuk Ingkung dan Mantra dalam upacara diganti dengan bacaan Dua Kalimah Syahadat,”. Maka dari itu, Tumpeng dan Ingkung Ayam bukan merupakan tradisi Hindu melainkan filosofi kemenangan syiar Islam terhadap tradisi Kanibalisme dari aliran Bhairawa Tantra. Oleh karena itu, sangat tidak bijak apabila ada pihak-pihak yang menganggap tumpeng dan ingkung ayam dalam Sadranan sebagai kemusyrikan. Oleh: Gus Muwafiq

MENGAPA ORANG JAWA TIDAK MANTU DI BULAN SURO?

Mengapa Orang Jawa Tidak Mantu di Bulan Suro?


Orang Jawa kalau Bulan Suro (Asyuro-red) tidak mantu (menikahkan anaknya) maka dianggap bid’ah. (Ada yang bilang) ini termasuk kesesatan karena menganggap bulan Muharaam (Suro) dihukumi haram untuk menikahkan anaknya. (Katanya) itu termasuk kesesatannya orang jawa. Ada yang bilang seperti itu dan banyak yang percaya. Akhirnya melanggar, Bulan Suro menikahkan anaknya. Padahal Bulan Suro itu, orang Jawa mengambil dari bahasa Arab Bulan Asyuro. Bulan Asyuro sama orang Jawa diambil belakangnya saja. Jadi bulan Suro. 

Orang Jawa itu kan senang mengambil belakangnya saja. Abdullah diambil belakangnya saja jadi dullah. Muhammad diambil belakangnya jadi Mad. Arifin jadi Ipin. Bulan Asyuro, sampai Jawa itu diambil belakangnya menjadi Bulan Suro. Begitu ganti Suro, orang Jawa tidak berani mantu. Hajatan nggak berani. Sampai memperbaiki pintu saja tidak berani. Itu benar atau tidak? Benar. Jadi ini termasuk keyakinanya orang jawa yang benar. Bila perlu mari kita lestarikan keyakinan semacam ini. Seperti kita tidak melupakan tanggal 12 Maulud, bulan kelahiran Nabi. Tanggal 27 Rojab, Isra’ mi’raj Nabi. Dan Bulan Suro cara untuk memperingatinya jangan mantu. Ajari anak cucu kita kalau Bulan Suro jangan mantu. Sebab kenapa? Kita itu orang Islam. 

 Pertama kali Islam turun itu di Makkah. (lalu) Pindah ke madinah. Di Madinah itu akhirnya Islam jadi besar. Dari Madinah Islam itu pindah ke mana? ke Basrah. Basrah itu daerah di luar bangsa arab. Daerah itu berada di sekitar Iran Irak. Negaranya namanya Persia. Dari Madinah yang di utus ke Persia itu Sayyidina Ali. Sayyidina Ali itu termasuk sepupu, mantu dan murid kinasih Rasulullah. Rasulullah pernah bersabda, “aku gudangnya ilmu, Ali pintunya.” Saking pinternya Sayyidina Ali. Disuruh keluar menghadapi orang Persia. Orang Persia itu pintar-pintar. Sayyidina Ali lalu boyong sama istrinya Siti Fatimah bawa anak dua, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husen. 

 Di Basrah, Sayyidina Ali hidup berdampingan dengan masyarakat yang jelas bukan Islam. Hidup dengan rukun dan baik. Sampe orang Persia terkesima. Sampai ingin mengambil mantu putranya Sayyidina Ali. Akhirnya putranya Sayyidina Ali diambil menantu oleh raja Persia. Sayyidina Ali memberikan Sayyidina Husen. Terjadi pernikahan anak Raja Persia dan Sayyidina Husen. Akhirnya lama-lama karena sudah berkeluarga sudah jadi kerabat. Maka Raja Persia ini meninggalkan agama Majuzi. Islam berkembang di sana. Agama baru. Cuma (waktu itu) di Madinah terjadi konflik. Perebutan kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Hasilnya Usman terbunuh. Begitu Usman meninggal, Sayyidina Ali disuruh pulang ke Madinah. Sayyidina Ali pulang. Di Madinah menggantikan Usman. Begitu menggantikan Usman, terjadi gejolak politik, sampai Sayyidina Ali terbunuh. Sebab Sayyidina Ali terbunuh, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husen pulang ke Madinah. Begitu di Madinah, Hasan Husen menjadi masalah. Yazid bin Muawiyah merasa tersaingi maka terjadi intrik politik sampai Sayidina Hasan terbunuh kena racun. Tambah keras konflik dengan Yazid akhrinya Sayyidina Husen pulang ke Persia. Begitu dzuriyah Nabi di pimpin Sayyidina Husen pulang, Yazid merasa ini melarikan diri. Akhirnya Yazid mengirim pasukan. Yang dikirim ini pasukan perang. Untuk apa? Untuk menyusul Sayyidina Husen serombongan. Tanggal 9 Asyuro ketangkap di Padang Karbala. Dikepung. Dan akhirnya entah apa yang terjadi, terjadi pembantaian habis-habisan. Anak cucunya Nabi habis dibantai di situ tanggal 10 asyuro. Habis. Ludes banjir darah. Lha ini menjadi pertanda bahwa tanggal 10 bulan Asyuro adalah tahun duka cita kaum muslimin sedunia. Seluruh kaum muslimin berduka tanggal 10 Asyuro. Maka peristiwa ini tidak akan dilupakan sama orang Islam. Ada yang memperingati dengan menggunakan bubur merah putih. Merah tanda darah. Putih tanda tulang. Ada yang memperingati dengan membuat keranda-keranda lalu diarak keliling. Itu menandakan begitu banyaknya keranda waktu itu yang berisi mayat cucu-cucunya Nabi. Nah orang sini, memperingati Asyuro, terbunuhnya cucu-cucu Nabi, biar gak lupa, dikemas dengan santunan anak yatim. Jadi kalau bulan Suro orang Jawa tidak mantu, tidak perkara Nyi Roro Kidul mantu, bukan. Itu fitnah terkejam buat umat Islam indonesia. 

 Orang Jogja sendiri kalau Bulan Suro keliling Benteng sepuluh kali atau tujuh dengan tidak bicara. Saking sedihnya dengan berita duka itu, tanggal 10 bulan Suro jangan kebanyakan omong. Maka puasa bisu. Orang Solo melebur dirinya dengan kotoran kerbau. Itu dalam rangka, seperti ini kita itu, cucu-cucu Nabi wafat menunjukkan dukanya dengan mandi kotoran kerbau. Maka kadang orang yang tidak mengerti orang Jawa, itu menyalahkan. Islam indonesia itu disangka dan dituduh seperti bukan ajaran Islam dari Nabi. Kayak tumbuh sendiri. Selalu dikatakan bid’ah. Lihat ingkung ayam, bid’ah. Lihat tumpeng, bid’ah. Lihat orang tahlil, musyrik. Lihat orang baca sholawatan sambil berdiri, musrik. Sampai punya bendera, dikatakan musyrik. Termasuk Suronan, orang menganggap Suronan itu bidah, musryik, Nyi Roro Kidul mantu.

Baca Juga

Orang kediri yang memfitnah (membuat cerita) Nyi Roro Kidul mantu. Aslinya orang pati. Namanya Ngabdullah. Ikut Belanda, pindah Kediri berganti nama jadi Kiai Tunggul Wulung. Itu yang nulis kitab Sabdo Palon Noyo Genggong. Pernah dengar cerita Sabdo Palon? Itu cerita kalau lima ratus tahun ke depan, Majapahit akan bangkit lagi. Untuk menunjukkan bahwa Islam di indonesia itu terjadi karena menyerang Majapahit. 

 Padahal yang meruntuhkan Majapahit adalah Raja Kediri. Namanya Girindra Wardana. Anak cucunya Kertajaya, anak cucunya Jaya Katwang. Itu perang bebuyutan. Lha itu dibalik, sama Ngabdullah ini. Di balik kalau yang menyerang Majapahit itu orang Islam dari Demak. Akhirnya terjadi perjanjian, aku mimpin cuma 500 tahun. Setelah 500 tahun, Majapahit bangkit lagi, ditulis dengan tulisan Sabdo Palon Noyo Genggong. Itu karyanya dia. Akhirnya ornag percaya. Termasuk yang menulis cerita dalam bentuk serta bernama Darmo Gandul Gatoloco. Itu ya Ngabdullah. Termasuk yang buat cerita kalau Bulan Suro itu Ratu Kidul mantu. Itu banyak yang percaya. Termasuk Pak Harto (percaya). Kalau tidak tahu orang Jawa, orang Jawa selalu disalahkan. Padahal ini cara orang Jawa karena begitu hormatnya dengan kanjeng Nabi. Karena peristiwa itu (terbunuhnya cucu-cucu Nabi di Padang Karbala tanggal 10 Asyuro) tidak dilupakan. Asal usulnya, dari jalur itu. Maka orang itu diajari jangan sampai lupa. Kalau Bulan Suro, bulan duko (duka). 

Note: Tulisan ini merupakan hasil transkip ceramah Gus Muwafiq.
Back To Top