Jaka Tingkir
Jaka Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), anak dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh), seorang bangsawan keturunan raja Majapahit yang menikahi Ratu Pembayun, satu-satunya anak dari Prabu Brawijaya dengan permaisurinya. Mereka adalah yang orang-orang tuanya bersama dengan para angkatan tua lainnya memilih mati ketika para Wali dan prajurit Demak datang untuk menawan dan membawa mereka untuk diadili di Demak, tetapi sesudah itu keluarga-keluarga mereka juga habis semua dibantai oleh prajurit Demak di bawah pimpinan para Wali.
Tetapi bayi Jaka Tingkir berhasil diselamatkan oleh Sunan Kalijaga setelah mata batin Sunan Kalijaga melihat sebuah cahaya terang di wajah bayi itu, cahaya wahyu keprabon ! Dalam pandangan batinnya bayi itu adalah penerus raja-raja Majapahit dan wahyunya sudah turun kepadanya ! Diam-diam bayi itu pun dilarikannya dan diserahkannya kepada Nyai Tingkir di pengungsian, yang suaminya juga telah tewas dalam pembantaian oleh prajurit Demak.
Sejak kecil Jaka Tingkir senang mengembara, ke bukit-bukit, ke gunung-gunung, keluar masuk hutan angker, mengunjungi tempat-tempat wingit dan angker atau menyepi di goa-goa. Jaka Tingkir adalah seorang anak yang bandel dan tak pernah kapok walau sering sekali dimarahi oleh ibu angkatnya, Nyai Tingkir, karena sering tidak pulang dan jarang sekali berada di rumah. Wataknya keras digembleng oleh alam, tetapi sangat menjunjung tinggi sikap ksatria dan tanggung jawab. Ia suka sekali datang ke tempat-tempat berbahaya dan "terlarang". Menyusup dan mengobrak-abrik sarang penyamun adalah kegemarannya. Semakin berbahaya situasinya, semakin menarik dan menantang baginya.
Karena kesukaannya menyusup dan mengobrak-abrik sarang penyamun sosoknya menjadi momok yang membuat para penyamun dan perampok jengkel dan geram. Sekalipun ia sudah terkepung, tetapi ia sendirian bisa melukai lawan-lawannya dan selalu bisa lolos dari kepungan, bahkan juga mengobrak-abrik sarang mereka, membuat banyak sekali kerusakan. Ia hanya dikenal dengan nama Jaka dari desa Tingkir, tetapi setiap diburu sampai ke rumahnya di desa Tingkir, ia selalu sedang tidak berada di rumah.
Walaupun aslinya dirinya yang anak seorang bangsawan diberi nama Raden Mas Karebet, tetapi karena sedang tinggal di pengungsian ibu angkatnya menyembunyikan nama aslinya itu. Ia hanya dipanggil Jaka (Joko) saja. Nyai Tingkir sendiri juga menyembunyikan identitas asli dirinya. Dan karena di tempat pengungsian itu terdapat banyak pengungsi dari berbagai tempat orang-orang tidak mengenal jati dirinya yang asli.
Tetapi masyarakat masih bisa mengenalinya sebagai seorang ningrat dan menghormatinya. Masyarakat sangat menghormati kesepuhan pribadinya sehingga ia dianggap sebagai sesepuh desa Tingkir dan oleh orang-orang dari luar desa Tingkir ia sering disebut Nyai Tingkir.
Pada masa penyebaran agama Islam itu memang sangat gencar dilakukan perburuan oleh prajurit Demak dan laskar santrinya terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan Syech Siti Jenar dan kerajaan Majapahit dan tidak ada larangan untuk membunuh mereka. Karena itu orang-orang di pengungsian sangat memahami bahwa mereka harus menjaga kerahasiaan identitas asli mereka masing-masing sehingga tidak ada di antara mereka yang ingin tahu / mempertanyakan aslinya jati diri seseorang. Mereka juga harus selalu waspada terhadap kemungkinan adanya mata-mata dari Demak.
Di setiap tempat yang dikunjunginya Jaka Tingkir selalu menyempatkan diri untuk menimba ilmu kanuragan maupun kesaktian gaib. Selain sering menyepi dan bertapa di goa-goa dan melatih sendiri keilmuannya, Jaka Tingkir juga sering mengunjungi panembahan-panembahan, resi dan begawan untuk belajar agama dan untuk memperdalam keilmuan kanuragannya.
Semakin bertambah usianya semakin bertambah ilmunya, sehingga ia memiliki kesaktian yang sulit sekali dicari tandingannya di antara anak-anak lain seusianya pada masanya. Bahkan di masa remajanya itu ia mampu menciptakan sendiri suatu ilmu pukulan yang di dalam novel silat Nagasasra dan Sabuk Inten disebut aji Rog-Rog Asem, yaitu suatu ilmu pukulan yang sejenis dengan aji Sasra Birawa, yang kekuatannya dipusatkan di sisi telapak tangan.
Ilmu itu sering dilatihnya dengan memukul batang-batang pohon besar, terutama adalah pohon asem yang besar batangnya lebih besar daripada sepelukan orang dewasa dan yang sedang berbuah. Sekali pukul saja pohon asem itu goncang sampai buah-buahnya berjatuhan ke tanah, sehingga ia tidak perlu memanjat pohonnya untuk memetik buahnya seperti yang dilakukan oleh orang lain.
Kesaktian Jaka Tingkir menjadi semakin matang setelah ia bertemu dan digembleng oleh Ki Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, yang walaupun berilmu tinggi dan mampu sendirian menjungkir-balikkan prajurit Demak dan para Wali yang menjadi pemimpinnya, tetapi memilih menyingkir, menjauhi intrik-intrik kekuasaan.
Mereka berani bertarung mempertaruhkan hidup dan mati melawan para penjahat dan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam, tetapi mereka tidak mau terlibat dalam kekisruhan politik dari orang-orang yang tega menganiaya dan menumpahkan darah orang untuk memaksakan agamanya. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang sakral dan bersifat pribadi. Agama adalah hubungan yang pribadi seseorang dengan Tuhan sesembahannya, tidak untuk dipaksakan kepada orang lain.
Sekalipun Jaka Tingkir tidak berguru kepadanya, tetapi ia menerima gemblengannya juga. Jaka Tingkir banyak menerima gemblengan dari banyak orang, karena ia mampu merendahkan hati dan menghormati semua orang dan mau belajar. Dan keunikannya, walaupun ia hanya menerima sedikit-sedikit saja ilmu, tetapi ia mampu mempelajarinya sendiri sampai kepada sisi spiritual dari keilmuannya itu, sehingga ia dapat mengembangkan ilmunya menjadi tumbuh besar berbuah dan matang di dalam dirinya.
Jaka Tingkir menjadi satu dari sedikit orang yang mewarisi ilmu-ilmu kesaktian tua jaman Majapahit. Ia juga mendapatkan hati dan simpati dari orang-orang tua berdarah Majapahit. Jaka Tingkir tanpa disadarinya telah membentuk dirinya menjadi wadah yang tepat dari wahyu raja dan wahyu keilmuan yang telah ada di dalam dirinya.
Maka setelah mendapat restu dari pamannya Ki Kebo Kanigara dan ibu angkatnya Nyai Tingkir, berangkatlah Jaka Tingkir ke Demak. Masih terbayang-bayang dalam pikirannya pertemuannya dengan Sunan Kalijaga yang menyuruhnya pergi mengabdi ke Demak. "Kamu adalah penerus raja-raja leluhurmu. Kamu bukan orang biasa. Kamu adalah Anak Majapahit".
Antara percaya dan tidak atas kata-kata itu, Jaka Tingkir terus merenungkannya dalam hatinya. Sedikit banyak Jaka Tingkir berharap pada kebenaran kata-kata Sunan Kalijaga, karena di matanya, beliau adalah tokoh pengayom masyarakat yang dapat dijadikan tempat bernaung. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang sangat ia hormati selain Syech Siti Jenar.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat populer di kalangan rakyat. Walaupun ia sendiri tidak secara langsung mengenal tokoh Syech Siti Jenar, dan banyak hasutan dan fitnah dialamatkan kepadanya, tetapi dari cerita di masyarakat Jaka Tingkir dapat mengenal kearifannya, seorang tokoh karismatik yang selalu mengajarkan keluhuran budi dan pekerti, tidak pernah mengajarkan penindasan, penganiayaan, apalagi pembunuhan kepada orang lain walaupun berbeda keyakinan, karena untuk dapat sampai kepada Tuhan harus didasari kesucian hati dan kasih, bukan kemunafikan, kebencian dan permusuhan.
Sesuai petunjuk ibunya, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya yang menjadi penjaga mesjid di Demak, supaya lebih mudah mengambil kesempatan saat ada penerimaan prajurit baru. Sekalipun ia bukan penganut agama Islam, tetapi ia rajin membantu pamannya merawat dan membersihkan mesjid. Ia juga sering berdiam di pojok halaman belakang mesjid yang gelap dan sepi untuk tidur atau bersemadi. Seringkali ia melamun merenungkan arti kata-kata Sunan Kalijaga. " Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu, karena kamu akan sering menjadi batu sandungan bagi orang lain. Jagalah, jangan sampai perilakumu membuatmu jauh dari jalanmu yang seharusnya. Raja-raja yang sekarang berkuasa bukanlah raja-raja yang sesungguhnya. Mereka hanyalah kerikil di dalam sejarah tanah Jawa. Janganlah kamu terbawa arus dalam kekisruhan politik. Dan jangan kamu mengumbar emosimu dan menonjolkan kesaktianmu. Akan tiba dengan sendirinya bahwa kamulah yang akan menjadi pewaris tanah Jawa".
Ketika tiba saatnya Sultan Trenggana, raja Demak, akan sholat Jum'at di mesjid, banyak rakyat berkerumun untuk menyambut kedatangannya. Jaka Tingkir juga ikut di dalam kerumunan rakyat di luar halaman mesjid, ingin melihat langsung sosok rajanya. Ketika sang raja sudah dekat, semua orang menunduk menyembah memberi hormat. Begitu juga Jaka Tingkir. Tetapi ia terlambat menyadari ketika orang-orang lain di sekitarnya sudah mundur untuk memberi jalan kepada rajanya, ia masih diam di tempatnya berjongkok menyembah. Dan ketika sang raja sudah dekat sekali berdiri di hadapannya, Jaka Tingkir kaget dan gugup dan dengan masih berjongkok menghormat kepada rajanya ia melompat mundur sejauh-jauhnya, sampai melewati blumbang parit kecil di belakangnya.
Tak urung perilakunya itu diperhatikan oleh sang raja.
Sultan Trenggana yang juga memiliki kesaktian tinggi sempat melihat cara Jaka Tingkir melompat mundur. Beliau maklum bahwa sang anak muda karena gugupnya kemudian melompat mundur jauh sejauh-jauhnya sampai melewati blumbang. Mungkin banyak orang yang dapat meniru melompat mundur sampai melewati blumbang itu. Tetapi yang beliau terkesan adalah cara sang anak muda melompat mundur. Melompatnya itu masih tetap dalam posisi berjongkok menunduk menyembah, dan yang istimewa, kedua kakinya hampir tidak kelihatan bergerak melakukan lompatan, seperti melayang mundur dalam posisi berjongkok menyembah. Beliau maklum, anak muda itu pastilah bukan orang biasa. Meringankan tubuhnya baik sekali.
Seusai sholat Jum'at, sang Sultan mencari keberadaan sang anak muda, tetapi tidak ditemukannya di antara orang-orang yang beribadah di mesjid dan juga tidak ada di halaman mesjid. Jaka Tingkir memang sudah tidak berada di sekitar mesjid karena ia tidak ikut beribadah. Maka sang Sultan bertanya tentang sang anak muda yang dilihatnya melompat mundur melewati blumbang kepada sang penjaga mesjid. Sambil memohon ampun bahwa mungkin tindakan anak muda itu tidak berkenan bagi sang raja, paman Jaka Tingkir itu mengatakan bahwa anak muda itu adalah keponakannya yang baru datang dari desa untuk mencari peruntungan di Demak. Sang raja mengernyitkan dahi seolah tak percaya sang penjaga mesjid mempunyai keponakan yang sebagus itu ilmunya. Kemudian sang raja memberi nasehat supaya keponakannya itu ikut mendaftarkan diri ketika ada bukaan penerimaan prajurit baru di kerajaan Demak.
Sebulan kemudian diadakanlah penerimaan prajurit baru di kerajaan Demak. Jaka Tingkir ikut mendaftar.
Walaupun tubuhnya tidak tampak kuat gempal berotot seperti kebanyakan peserta yang mendaftar, tetapi dengan posturnya yang ramping dan tegap Jaka Tingkir mampu melewati semua tahapan ujian dengan memuaskan. Akhirnya, dengan diterimanya Jaka Tingkir sebagai prajurit baru, dimulailah kehidupannya yang baru di dalam lingkungan kerajaan Demak.
Beberapa waktu kemudian diadakan lagi ujian kenaikan pangkat. Jaka Tingkir dapat secara memuaskan melewati semua ujian. Bahkan seolah-olah tidak ada kesulitan apa-apa baginya dalam menjalani semua ujian yang diadakan sampai-sampai membuat penasaran para pengujinya. Karena itulah Jaka Tingkir, yang masih berpangkat prajurit, sampai diadu tanding ditarungkan melawan senior-seniornya yang berpangkat kepala prajurit. Bukan hanya satu melawan satu, tetapi sampai diadu melawan 3 orang kepala prajurit sekaligus.
Sang raja Sultan Trenggana yang ikut menonton adu tanding itu dapat menilai bahwa selain Jaka Tingkir dapat mengimbangi ke 3 orang kepala prajurit itu, dinilainya juga bahwa Jaka Tingkir sesungguhnya menyimpan kemampuan yang melebihi ke 3 orang tersebut, tetapi tidak diperlihatkannya. Bahkan mungkin anak muda itu dapat mengalahkan mereka semua bila dikehendakinya. Diam-diam ia pun merasa kagum.
Anak muda itu adalah yang dulu dilihatnya di depan mesjid. Masih sangat muda tetapi memiliki kemampuan yang bahkan lebih tinggi dibandingkan senior-seniornya. Wajahnya pun bersih dan bersinar, tampak nyata ketika dibandingkan dengan prajurit-prajurit lain saat berdiri di dalam barisan. Akhirnya Sultan Trenggana mengeluarkan keputusan, Jaka Tingkir bukan hanya pangkatnya saja yang dinaikkan, tetapi juga dijadikan anggota penjaga bagian dalam keraton dan sekaligus juga diangkat menjadi anggota pasukan khusus pengawal raja.
Jaka Tingkir menonjol kecerdasan dan keprigelannya dan disukai oleh teman-temannya. Ia juga dipercaya dan diandalkan untuk mengawal raja, permaisuri atau anak-anak raja ketika bepergian keluar istana. Dan sebagai anggota penjaga bagian dalam istana, ia bebas berkeliling memeriksa setiap pelosok bagian istana. Hanya bagian dalam kamar raja dan kaputren saja yang tidak boleh dimasukinya.
Tetapi kedekatan Jaka Tingkir dengan keluarga raja menumbuhkan percintaan Jaka Tingkir dengan putri bungsu raja, sesuatu yang sangat terlarang. Tetapi rahasia itu akhirnya diketahui juga oleh sang raja. Hingga suatu saat Sultan Trenggana sengaja menangkap basah mereka saat sedang berduaan di taman kaputren pada malam hari. Tetapi karena saat itu Sultan Trenggana sengaja menyamarkan identitasnya, berpakaian biasa saja dan memakai penutup wajah, maka terjadilah perkelahian antara Jaka Tingkir dan sang Sultan karena Jaka Tingkir ingin menangkap orang itu yang disangkanya sebagai seorang pencuri yang masuk ke dalam istana.
Dan karena dalam perkelahian itu dirasakannya lawannya itu berkemampuan tinggi, Jaka Tingkir mengetrapkan ilmunya aji Lembu Sekilan untuk melindungi dirinya. Ketahanan tubuhnya dan lapisan energi lembu sekilan itu membuat pukulan dan tendangan lawannya olehnya tidak lagi terasakan sakit.
Tetapi sesudah lawannya itu menyadari bahwa Jaka Tingkir mengetrapkan suatu ilmu yang membuat tubuhnya dilapisi selapis energi padat yang membuat pukulan dan tendangannya seolah-olah tidak terasakan sakit oleh Jaka Tingkir, kemudian lawannya itu juga mempamerkan ilmunya aji Tameng Waja yang membuat Jaka Tingkir merasa pukulan dan tendangannya tak banyak berarti terhadap lawannya, rasanya seperti memukuli orang yang memakai baju besi.
Akhirnya dengan maksud menyudahi pertarungan Jaka Tingkir mengerahkan kekuatannya yang tertinggi, ditrapkannya ajinya Rog-Rog Asem. Dengan memusatkan kekuatan kebatinannya dipusatkannya kekuatannya di sisi telapak tangannya. Dihantamkannya ajiannya itu telak mengenai dada lawannya yang sengaja tidak menghindar karena ingin tahu batas kekuatan Jaka Tingkir.
Lawannya yang juga mengetahui bahwa Jaka Tingkir sudah memusatkan kekuatannya yang tertinggi juga sudah memusatkan kekuatan tertingginya dalam ajiannya Tameng Waja itu. Tetapi diluar dugaannya akibat dari hantaman ilmu Jaka Tingkir itu ia tersentak terdorong jauh ke belakang. Sakit sekali dadanya seperti dihantam gunung runtuh, sakit sekali rasanya sampai terasa sesak sulit bernafas. Matanya gelap berkunang-kunang sampai terhuyung-huyung hilang keseimbangan hampir jatuh. Jaka Tingkir sendiri tersentak juga ke belakang. Terasa sesak dan sakit dadanya dan sempat berkunang-kunang juga matanya.
Akibat dari benturan adu kekuatan itu lawan Jaka Tingkir merasakan sakit sekali dadanya. Semua otot urat dan sendi-sendi tubuhnya sakit sekali seperti lepas satu per satu dan matanya masih saja berkunang-kunang. Sama sekali tidak diduganya bahwa Jaka Tingkir mempunyai ilmu setinggi itu. Tetapi lawannya itu berusaha untuk segera menguasai kembali kesadarannya yang sempat hilang. Akhirnya lawannya itu juga mengetrapkan ilmu andalannya aji Braja Geni yang menjadikan seluruh tubuhnya, tangan dan kakinya panas membakar.
Kali ini lawannya itu berubah seolah-olah menjadi manusia api yang menyala berkobar-kobar dan selama berkelahi dengannya Jaka Tingkir merasa seperti dirinya masuk ke dalam kobaran api yang panas. Pukulan dan tendangan lawannya dirasakan sakit dan panas oleh Jaka Tingkir. Pernafasannya juga terganggu karena paru-parunya terasa seperti menghisap udara panas.
Dan ada pukulan lawannya yang hampir saja mengenai wajahnya, walaupun berhasil dihindarinya, tetapi wajah Jaka Tingkir tetap terasa panas seperti disembur api. Walaupun kekuatan tertingginya telah ditrapkan dalam ilmu pertahanannya Lembu Sekilan, ternyata kesaktian lawannya itu masih lebih tinggi dari dirinya dan mampu menembus pertahanan ilmu Lembu Sekilannya.
Sang Sultan sendiri merasakan serangan-serangan Jaka Tingkir yang masih dilambari aji Rog-Rog Asem sangat menyakiti tubuhnya. Kekuatan ilmu Jaka Tingkir ternyata mampu menembus kekebalan ilmu Tameng Wajanya. Tetapi ia juga merasa bahwa kesaktiannya masih lebih tinggi daripada Jaka Tingkir.
Tetapi sebelum sempat Jaka Tingkir berteriak memanggil prajurit-prajurit yang lain karena dirasakannya ilmu lawannya masih lebih tinggi darinya dan sulit untuknya bisa sendirian menangkap lawannya itu, sang Sultan yang tidak mau ada kejadian yang lebih buruk lagi akibat dari perkelahian mereka itu sudah lebih dulu membuka jati dirinya. Tutup wajahnya dibukanya sehingga jelas bagi Jaka Tingkir siapa sesungguhnya lawan yang sedang dihadapinya itu.
Sekalipun kelakuan Jaka Tingkir dan putrinya itu adalah aib bagi keluarga raja dan kerajaan, tetapi di dalam kemarahannya Sultan Trenggana masih dapat berpikir bijak. Sebagai hukumannya ia mengusir Jaka Tingkir keluar dari istananya dan melarangnya berada di Demak dan sekitarnya. Dan kepada semua orang yang mengetahui kejadian itu diperintahkannya untuk tutup mulut. Bahkan disiarkannya kabar bahwa Jaka Tingkir pergi diusir dari istana karena berkelahi dan membunuh temannya sesama pengawal raja, Dadung Awuk.
Tetapi akibat dari perkelahian mereka itu keesokan harinya masing-masing sang Sultan dan Jaka Tingkir merasakan tubuh mereka sakit-sakit. Ada banyak bekas pukulan biru legam di sekujur tubuh sang Sultan. Begitu juga dengan Jaka Tingkir, ada banyak bekas pukulan gosong menghitam di tubuhnya seperti bekas terbakar.
Hebat sekali, pikir sang Sultan, semuda itu sudah mempunyai kanuragan setinggi itu, hampir menyamai dirnya. Entah berapa tahun lagi, bila ilmunya sudah semakin matang, pasti Jaka Tingkir akan mampu melebihi dirinya. Sayang sekali kesalahannya itu tak dapat begitu saja dimaafkan. Tetapi karena Jaka Tingkir bukan orang jahat, dan bukan pemberontak, suatu saat masih dapat berguna bagi Demak, maka sang Sultan memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman badan yang berat kepadanya. Jaka Tingkir hanya diusir saja keluar dari Demak. Suatu saat ia masih dapat kembali lagi ke Demak bila diperlukan.
Jadilah Jaka Tingkir kembali mengembara di alam bebas, keluar jauh dari lingkungan istana. Beberapa kali juga Jaka Tingkir tinggal bersama pamannya Ki Kebo Kanigara dan kembali menikmati penggemblengan kanuragan, kebatinan dan spiritual. Bersama pamannya dan teman-temannya, serta beberapa tokoh tua jaman Majapahit, mereka menjauhi dunia perpolitikan dan merahasiakan identitas mereka sebagai keturunan Majapahit yang dapat dipandang sebagai duri oleh kerajaan Demak.
Pada masa itu terjadi banyak sekali persaingan untuk memperebutkan tahta kerajaan Demak. Bahkan di luar istana, banyak kalangan dari dunia hitam yang juga bersaing memperebutkan tahta Demak. Bahkan simbol kekuasaan kerajaan saat itu, yaitu sepasang keris pusaka sakti Nagasasra dan Sabuk Inten, sampai hilang dicuri orang.
Kerajaan Demak telah mengerahkan para prajurit telik sandinya untuk mencari dan membawa pulang keris-keris tersebut, tetapi tidak juga dapat ditemukan keberadaannya.
Pada masa itu berkembang suatu kepercayaan bahwa siapapun yang berhasil mendapatkan dan menguasai pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten akan lebih mudah jalannya menuju kekuasaan menjadi raja tanah Jawa. Dengan demikian pusaka-pusaka itu menjadi incaran banyak orang, bukan hanya menjadi incaran orang-orang di lingkungan kerajaan, tetapi juga orang-orang dari luar istana yang mengincar kekuasaan kerajaan, termasuk juga kalangan dunia persilatan golongan hitam.
Di dunia persilatan saat itu sering sekali terjadi bentrokan antara golongan putih dan golongan hitam. Hutan Mentaok, Gunung Tidar dan Gunung Merapi dijadikan sarang oleh banyak kelompok penyamun. Masing-masing kelompok dipimpin oleh tokoh yang sakti. Golongan hitam, yang kebanyakan adalah kelompok-kelompok perampok dan penyamun, diperangi oleh kelompok golongan putih yang membela kebenaran dan melindungi rakyat.
Jaka Tingkir dan kelompok pamannya yang tergolong sebagai golongan putih aktif memerangi golongan hitam. Mereka juga ikut membantu pihak kerajaan dengan cara yang tidak tampak di permukaan untuk menemukan pusaka-pusaka kerajaan yang hilang. Sekalipun kelompok mereka dimusuhi oleh pihak kerajaan, tetapi didasari oleh budi pekerti yang tinggi, mereka tidak memusuhi kerajaan. Siapapun rajanya, akan mereka dukung, selama raja itu menjunjung tinggi kebenaran dan melindungi rakyatnya.
Setelah melalui banyak pertarungan besar yang mengakibatkan banyak korban jiwa akhirnya mereka golongan putih berhasil menumpas pemimpin-pemimpin gerombolan golongan hitam beserta para pengikutnya dan berhasil juga merampas kembali sepasang keris pusaka kerajaan Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan mereka dan menyerahkan keris-keris itu kembali kepada raja Demak Sultan Trenggana.
Kepada mereka semua yang telah berjasa mengembalikan pusaka-pusaka tersebut, Sultan Trenggana memberikan penghargaan besar. Kelompok Jaka Tingkir dan pamannya Kebo Kanigara tidak lagi dimusuhi oleh pihak kerajaan, karena selain telah berjasa kepada kerajaan, mereka juga menyatakan janji setia kepada kerajaan, siapapun rajanya, selama sang raja menjunjung tinggi kebenaran dan melindungi rakyatnya.
Bahkan Sultan Trenggana mengijinkan putri bungsunya dinikahi oleh Jaka Tingkir, sesuai nasehat dari Sunan Kalijaga, bahwa Jaka Tingkir adalah seorang keturunan Majapahit yang nantinya akan menjadi penerus raja-raja Majapahit. Bila tiba saatnya Jaka Tingkir menjadi raja, maka keturunannya adalah juga keturunan Sultan Trenggana melalui putrinya yang menjadi istri Jaka Tingkir.
Setelah resmi menjadi menantu raja Demak, Jaka Tingkir diangkat menjadi Adipati di Pajang, dan sebutannya menjadi Kangjeng Adipati Adiwijaya.
Sri Narendra Prameswara
https://m.facebook.com/groups/582046885173700?view=permalink&id=2341398505905187